Minggu, 06 Juni 2010

Pulau Madura

MADURA PULAUKU
Pulau Madura terletak di timur laut Jawa kurang khatulistiwa diantara 112 dan 114 bujur timur. Luas Pulau Madura 4.887 Km². Panjangnya kurang lebih 190 Km dan jarak yang terlebar 40 Km. Pantai utara merupakan suatu garis panjang yang hampir lurus. Pantai selatannya di bagian timur mempunyai dua teluk yang besar terlindung oleh pulau-pulau, gundukan pasir dan batu-batu karang.
Batas-batas administrasi Pulau Madura adalah:
a. Batas sebelah utara: Laut Jawa
b. Batas sebelah selatan: Selat Madura
c. Batas sebelah timur: Laut Jawa
d. Batas sebelah barat: Selat Madura
Secara administratif pulau Madura dibagi 4 kabupaten yaitu Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Madura juga mempunyai kawasan kepulauan sebanyak 77 pulau semuanya terletak di Kabupaten Sumenep dan hanya satu di Kabupaten Sampang, yakni Pulau Mandangin.
Penduduk pulau Madura paling banyak bekerja di sektor pertanian (63,60%) selanjutnya di sektor perdagangan (11,10%) dan industri (9,40%) dan jasa kemasyarakatan (7,60%). Rendahnya partisipasi angkatan kerja di sektor industri disebabkan oleh karena memang terbatasnya industri yang ada di Madura. Sedangkan pertanian yang ada sebagian besar adalah pertanian lahan kering.
Pendidikan mereka umumnya rendah oleh karenanya mereka mencoba mengadu nasib di bidang informal khususnya perdagangan dan jasa. Mereka yang tidak tertampung di Madura sendiri pergi migrasi ke luar pulau.
PENDUDUK MADURA 1992
BERDASARKAN LAPANGAN PEKERJAAN
NO LAPANGAN PEKERJAAN PROSENTASE
1. Pertanian 63,60
2. Industri 9,40
3. Bangunan 3,50
4. Perdagangan 11,10
5. Pengangkutan & Perhubungan 2,60
6. Jasa Kemasyarakatan 7,60
7. Lain-lain 2,60
Jumlah 100,00
Sumber: Jawa Timur Membangun 1993
Pendidikan agama semasa mereka masih kanak-kanak sangat melekat pada setiap orang Madura. Oleh karenanya pada umumnya orang Madura taat melakukan ibadah. Kebiasaan ini tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Dengan demikian keberadaan para Kyai dalam masyarakat menjadi sangat dominan. Demikian pula dalam dunia perdagangan dari penjual barang bekas sampai dengan pengusaha besar, orang Madura juga berperan. Kemauan dan semangat salah satu suku di Indonesia ini merupakan sebuah potensi yang perlu dikembangkan.

IDENTITAS KEAGAMAAN ISLAM MADURAIS

IDENTITAS KEAGAMAAN ISLAM MADURAIS
Oleh : Nur Kholis Sahju
Madura dapat diidentikkan dengan Islam, meskipun tidak seluruhnya masyarakat Madura memeluk Islam, tetapi Islam telah menjadi bagian dari identitas etnik. Stigma masyarakat Madura sebagai “masyarakat santri” sangat kuat. Menjadi haji misalnya, merupakan impian setiap orang Madura, dan mereka akan berusaha keras untuk mewujudkannya seolah-olah “kesempurnaan hidup”
.
Dengan demikian, sebagai orang Madura, Islam tidak hanya berfungsi sebagai Referensi kelakuan sosial dalam kehidupan bermasyarakat di Madura. Akan tetapi Islam juga merupakan salah satu unsur penanda identitas etnik Madura. Dalam perspektif antropologis, antara (agama) Islam dan orang Madura merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua unsur tersebut saling menentukan dan keanggotaan seseorang dalam kelompok etnik Madura sangat ditentukan oleh kesetaraan identitas Islam pada orang tersebut. Artinya jika orang Madura tersebut tidak lagi memeluk agama Islam, maka ia tidak dapat lagi disebut sebagai orang Madura. Semisal ada sebuah contoh di daerah Blega, ada perempuan Madura yang kawin dengan orang Bali kemudian sang perempuan tadi pindah agama memeluk agama yang diyakini suaminya, yakni agama Hindu, maka sampai sekarang si perempuan tersebut terbuang dari jalur keluarga Madura. Ada apa dengan agama sehingga bisa memutuskan hubungan kekeluargaan? Orang Madura lebih bisa menerima ketika sanak keluarganya kawin dengan etnis, ras, golongan lain Madura, dari pada ada sanak keluarganya kawin dengan orang yang beda Agama (Non Muslim). menentangnya. Sehingga banyak program pembangunan yang terhambat karena masyarakat tidak setuju, seperti rencana pemerintah untuk membangun waduk di Blega. Karena alasan ada areal tanah yang dikramatkan seperti makam leluhur (buju’) dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Maka penolakan itu terjadi. Kasus penolakan yang sama juga pernah terjadi pada tahun 90an, yakni penolakan terhadap pembangunan jembatan suramadu. Dari kalangan ulama Madura yang tergabung dalam wadah (Ulama Basra) menilai bahwa pada suatu saat adanya jembatan suramadu akan merusak moral masyarakat Madura. Akan tetapi saat ini jembatan suramadu itu sudah mulai dilakukan pembangunannya dan ditargetkan 2008 sudah selesai. Apakah nasib pembangunan waduk juga akan seperti itu? hanya waktu yang akan bicara.
Kita bisa melihat kondisi sosial yang ada, hampir tidak kita temukan penganut agama lain melakukan kegiatan-kegiatan keagaman sesuai keyakinannya. Agama Islam sudah meresap dan mewarnai pola kehidupan sosial seperti tampak dalam cara berpakaian. Mereka (kaum lelaki) selalu mengenakan songko’ (kopyah) dan sarung, terutama pada saat menghadiri upacara ritual, shalat, bepergian, atau menerima tamu yang belum dikenal.
Menonjolnya ciri keislaman orang Madura itu ditandai pula oleh banyaknya pondok pesantren. Lembaga itu menjadi tujuan utama dalam menentukan pendidikan keagamaan. Namun, dalam katagori tertentu, Islam Madura tidak dianggap Islam murni, tetapi disebut “Islam lokal” yaitu Islam yang bercampur adat, seperti abagan atau agama adam di jawa,(Geertz, 1989)
Dalam sejarah Madura, awal mula terjadi proses Islamisasi tidak terlepas dengan sistem kerajaan yang ada, jauh sebelum bangsa ini mengatasnamakan Indonesia sebagai negara kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


ISLAM MADURA DI TEGAH ARUS GLOBALISASI
Agama Islam di Madura tetap menjadi identitas yang melekat bagi masyarakat walaupun di tegah derasnya arus globalisasi. Tidak heran jika ada misi globalisasi sedikit saja bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam menurut pemahaman mereka, maka akan menyulut kemarahan masyarakat untuk menolak dan
dalam ranah pendidikan ada lembaga pendidikan Pondok Pesantren yang kajian keilmuanya fokus terhadap masalah-masalah agama Islam di bawah asuhan Kyai (Ulama’). Sehingga Kyai yang ada di Madura merupakan tokoh yang paling dihormati oleh masyarakat, melebihi pemimpin-pemimpin yang lain. Penghormatan terhadap kyai oleh masyarakat Madura sangat luar biasa, karena kyai dianggap dekat dengan kesucian agama Islam sehingga dihormati dan diteladani oleh masyarakat Madura. Madura merupa-kan selat kecil yang terdiri dari empat kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pame-kasan dan Sumenep. Empat Kabupaten tersebut

Dalam kehidupan masyarakat Madura, kedudukan dan peran kyai sangat besar pengaruhnya melampaui batas pengaruh institusi-institusi kepemimpinan lain, termasuk kepemimpinan dalam birokrasi pemerintahan. Dalam urusan kehidupan sehari-hari, kyai menjadi tempat pengaduan terhadap berbagai urusan masyarakat, seperti masalah perjodohan, pengobatan penyakit, mencari rizki, mendirikan rumah, mencari pekerjaan, karir dan lain sebagainya. Seiring dengan berkembangnya pembangunan di Madura berkembang pula, pola pemahaman masyarakat Madura terhadap keislaman, semisal patronasi kyai sebagai tokoh agama yang Transenden, lambat laun sudah
mulai terkikis, ketika kyai tersebut sudah mulai turun gunung dalam artian terlibat langsung pada politik praksis seperti aktif di partai politik tertentu, karena seringkali kyai jenis ini melakukan kampaye parpolnya dengan membawa-bawa nama agama untuk meraup massa sebanyak-banyaknya.Apabila model kampanye seperti ini terus dilakukan maka siap-siaplah sang kyai tersebut lambat laun akan terkikis popularitasnya sebagai tokoh agama

ISLAM SEBAGAI BUDAYA
Berangkat dari sabda Nabi Muhammad SAW bahwa manusia lahir dalam keadaan fitrah.Oleh krena itu bergantung kedua orang tuanya si anak bergama Islam, Majusi dan lain-lain. Sabda diatas cukup meberikan gambaran terhadap masyarakat Madura terkait dengan keislaman seseorang. Senada dengan jalannya keberlangsungan hidup para orang tua yang ada (madura) proteksi pendidikan anak juga dijaga, dalam artian diarahkan pada pendidikan Islam, tepatnya lembaga pendidikan pesantren. Sehingga seorang anak akan terarahkan secara tauhidiyah hanya bertuhankan Allah SWT dan memeluk agama Islam. Berangkat dari prokteksi orang tua itu maka sang anak akan punya keyakinan satu dalam beragama, yakni Islam. Seperti disebutkan dalam Al-Quran, Agama
yang paling benar adalah agama Islam. Model pemahaman yang seperti di atas, akan merajut dalam aplikasi keberagamaan yang diimplementasikan di kehidupan sehari-hari, sehingga tidak jarang ada jalinan akulturasi antara budaya lokal dan agama yang bersifat sakral dalam konteks akplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kita coba melihat ranah simbol budaya dengan model bangunan rumah orang madura, khususnya yang berada di desa, hampir setiap rumah orang Madura memiliki bangunan “langgar” atau surau sebagai tempat keluarga melakukan ibadah sholat. Lokasinya selalu berada di ujung barat ha-laman rumah. Bagian arah barat ini menegaskan sebagai simbolisasi lokasi ka’bah yang merupakan kiblat orang Islam ketika melaksanakan ibadah sholat. Karena Islam telah menjadi bagian dari identitas etnis Madura. Identitas keagamaan Islam yang kuat di kalangan masyarakat Madura berakar dari proses pengislaman penduduk lokal meluas dan intensif sejak pertengahan abab ke 16 ketika raja-raja lokal di Madura mulai memeluk agama Islam. Sejalan dengan mening katnya intensitas perdagangan antar wilayah pada masa lalu, penyebaran agama Islam di Madura juga meningkat pesat (red: Sejarah Madura).
Mencari konsep keagamaan Islam Maduranis. kita juga harus melihat sejarah bangsa ini sebelum pra kemerdekaan. Pada saat itu Indonesia yang kita cintai ini terdiri dari kerajaan-kerajan kecil di setiap daerah, tidak terkecuali Madura. Yang jelas secara historisitas awal mulanya masyarakat Madura penganut agama Hindu, yaitu agama yang dianut oleh kerajaan terdahulu sebelum Islam masuk dan berkembang di Madura. Pada periode kerajaan-kerajaan Nusantara, Madura berturut-turut berada di bawah kekuasaan kerajaan Jawa, yaitu Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, dan Mataram (Sejarah Madura: oleh Zainal Fatah 1951).
Penguasaan Madura oleh kerajaan-kerajan Jawa tersebut tentu mempunyai pengaruh yang besar bagi masyarakat Madura. Adapun pengaruh yang paling terasa hingga saat ini adalah kerajaan Mataram, pengaruh budaya Jawa di Madura semakin mengakar, terutama dengan ditempatkannya panglima pasukan Jawa Tumenggung Anggadipa sebagai penguasa Sumenep dan penerimaan rakyat Sumenep terhadap kepemimpinannya. (Andang Subaharianto dkk. Tantangan Industrialisai Madura: 35-36.2004).[ ]

Sampang dan Kekayaan Alam

KABUPATEN SAMPANG
A. Posisi Geografis dan Administratif
Kabupaten Sampang terletak pada 113008’ – 113039’ Bujur Timur dan 06005’–07013’ Lintang Selatan, dengan luas wilayah 1.233,33 Km2. Batas wilayah Kabupaten Sampang adalah sebagai berikut :
• Sebelah Utara : Laut Jawa;
• Sebelah Timur : Kabupaten Pamekasan;
• Sebelah Selatan : Selat Madura;
• Sebelah Barat : Kabupaten Bangkalan.
Secara keseluruhan Kabupaten Sampang mempunyai luas wilayah sebanyak 1233,30 Km2. Sebelum otonomi daerah, Kabupaten Sampang terdiri atas 12 Kecamatan. Namun sejak dikeluarkan Perda No. 2 tahun 2003 tentang Pembentukan Kecamatan Pangarengan dan Perda No. 3 tahun 2003 tentang Pembentukan Kecamatan Karangpenang, Kabupaten Sampang terdiri dari 14 Kecamatan dengan 6 kelurahan (di Kecamatan Sampang) dan 180 desa.
Luas Wilayah Administrasi Kabupaten Sampang
No Kecamatan Desa Luas (Km2) Proporsi (%)
1 Omben 116.31 9.43
2 Kedungdung 123.084 9.98
3 Robatal 80.64 6.54
4 Jrengik 65.35 5.3
5 Ketapang 125.28 10.16
6 Torjun 44.19 3.58
7 Pangarengan 42.7 3.46
8 Karangpenang 84.25 6.83
9 Tambelangan 89.97 7.3
10 Camplong 69.94 5.67
11 Sreseh 71.95 5.83
12 Sampang 70.01 5.68
13 Sokobanah 108.51 8.8
14 Banyuates 141.03 11.44
Sumber: Kecamatan Dalam Angka Tahun 2006 (BPS Kab Sampang)
Terdapat satu pulau berpenghuni (14.004 jiwa dalam 3.638 KK) cukup padat (8.487 jiwa/Km2 pada tahun 2002) di wilayah selatan, yakni Pulau Mandangin atau Pulau Kambing. Dari Pelabuhan Tanglok, jarak menuju pulau seluas 1,650 Km2 adalah ± 1,5 jam menggunakan perahu.
Pulau Mandangin

B. Hidrologi
Kabupaten Sampang memiliki 34 sungai yang terkelompok menjadi dua sub wilayah, yaitu :
1. Kabupaten Sampang Selatan, terdapat 25 sungai, yaitu :
Sungai Pangetokan, Sungai Legung, Sungai Kalah, Sungai Tambak Batoh, Sungai Taddan, Sungai Gunong Maddah, Sungai Sampang, Sungai Kamuning, Sungai Madungan, Sungai Gelurang, Sungai Gulbung, Sungai Lampenang, Sungai Cangkreman, Sungai Bakung, Sungai Pangandingan, Sungai Cangkokon, Sungai Pangarengan, Sungai Kepang, Sungai Klampis, Sungai Dampol, Sungai Sumber Koneng, Sungai Kati, Sungai Pelut dan Sungai Jelgung.
2. Kabupaten Sampang Utara, terdapat 9 sungai, yaitu :
Sungai Pajajagan, Sungai Dempo Abang, Sungai Sumber Bira, Sungai Sewaan, Sungai Sodung, Sungai Mading, Sungai Rabian, Sungai Brambang dan Sungai Sumber Lanjang.
Sungai yang terdapat di Kabupaten Sampang sebagian besar merupakan sungai musiman yang ada airnya pada musim penghujan. Sedangkan sungai yang mengalir sepanjang tahun antara lain :
1. Sungai Klampis dengan Waduk Klampis yang dapat dipergunakan untuk mengairi sawah di Kecamatan Torjun, Sampang dan Jrengik.
2. Sungai Marparan dan Disanah bermuara di kali Blega, sehingga dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan telah banyak dimanfaatkan untuk tambak dan penggaramanan.
3. Sungai Kemoning, bersumber di Kecamatan Robatal yang melewati dan bermuara di Kota Sampang, dipergunakan untuk pelabuhan.
C. Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Sebagaimana kondisi wilayah kabupaten lain di Pulau Madura, kondisi umum daratan berupa lahan kering, bahkan gersang dan tandus. Disamping fenomena kekurangan sumber air bersih, banjir/genangan menggejala di saat musim penghujan tiba. Di beberapa wilayah tertentu akan banyak genangan air pada saat hujan turun. Jika hujan turun cukup deras dan lama, seringkali beberapa wilayah dimaksud banjir. Hal ini nampaknya lebih banyak dipengaruhi oleh perbandingan ketinggian daratan dan muka air laut, selain tidak adanya saluran pematusan (drainase) yang solid dan terbatasnya kemampuan badan sungai yang ada menampung kapasitas limpasan air hujan.
D. Sosial Budaya
Aspek sosial dan budaya berasal dari nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh leluhur dan nilai-nilai keagamaan. Nilai-nilai filosofi Madura tetap dimiliki dan diyakini oleh masyarakat Sampang dalam kehidupan keseharian yang berpadu dengan nilai keislaman yang merupakan aspek dan budaya yang menjadi perhatian penting bagi penyusunan RPJMD ini.
1. Agama
Agama merupakan aspek sosial budaya yang paling tampak dalam kehidupan keseharian masyarakat Madura, yang meresap pada setiap aspek kehidupan mulai tingkat domestik hingga tingkat publik, dari rumah tangga hingga ranah politik.
Penduduk Sampang mayoritas memeluk agama Islam (855,104 orang), hanya sebagian kecil yang memeluk agama lain, yakni 252 Kristen/Protestan, Katolik 106, dan 16 orang Hindu (BPS 2007). Homogenitas keagamaan ini turut mendorong adanya identitas keagamaan masyarakat Madura yang “religius dan Islami”.
Di Sampang, Ormas dan Lembaga Kemasyarakatan yang berhubungan dengan keislaman secara umum tidak begitu tumbuh, akan tetapi sangat kuat dan bersifat massif. Organisasi masyarakat yang berkembang adalah NU, Muhammadiyah dan PERSIS. Di antara tiga ormas tersebut yang paling besar adalah NU yang memiliki hirarki kepengurusan sampai di tingkat ranting (desa) berikut kekuatan badan otonom dan lembaga. Hal ini didukung adaptasi sebuah agama dengan kebudayaan masyarakat setempat yang bisa mengakomodir local knowledge masyarakat.
Karakter keislaman dan budaya masyarakat Sampang berciri dengan sistem pendidikan pesantren yang sangat mengakar dalam kehidupan mereka. Data BPS 2006 mencatat terdapat 303 pesantren dengan 39.397 orang santri laki-laki dan 28.804 orang santri perempuan, laki-laki 374 ustadz dan 346 ustadzah (ustadz perempuan). Data ini semakin memperkuat bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat Sampang.
Pesantren terbagi dalam 3 kategori, yakni pesantren modern dengan kategori yang menyediakan pendidikan jalur sekolah (sekolah formal) dengan manajemen moderen. Kedua, pesantren semi modern dengan sistem terbuka yang tidak mengadakan sekolah sendiri tetapi membolehkan santri untuk sekolah di luar, atau jika pun mengadakan sekolah hanya pada tingkat sekolah dasar. Selanjutnya, yang ketiga adalah pesantren salaf, pesantren yang mempertahankan tradisi lama pesantren, yakni hanya mengkaji ilmu-ilmu agama dengan kitab-kitab kuning, dalam hal ini pihak pesantren tidak menyediakan sekolah atau pendidikan formal yang lain.
Pilihan selain pesantren adalah madrasah diniyah, madrasah dinyah diadakan di desa, anak-anak usia SD baik yang sekolah resmi atau madrasah yang dilaksakan oleh swasta, pada sore hari mereka sekolah diniyah lengkap dengan hirarki kelas juga. Bahkan malam hari mereka tetap ke masjid atau musolla untuk menguatkan kemampuan mengajinya. Besar minat pendidikan pada Madrasah diniyah telah mengalahkan jumlah pedidikan di SD. Rasio perbandingan SD berjumlah 481 sedangkan Madrasah Diniyah telah mencapai 876 sekolah. Dari jumlah ini semakin menunjukkan kekuatan Madarasah diniyah dalam sistem pendidikan di Sampang.
Sistem Madrasah Diniyah masih dikelola dengan sangat sederhana, sehingga kurang dilihat sebagai kekuatan. Selama ini Madrasah Diniyah dilihat sebelah mata kekuatannya dalam proses pendidikan siswa di Sampang. Padahal madrasah diniyah pun memiliki potensi pendukung dalam pembangunan Sampang.
2. Nilai-nilai Ke-Madura-an
Nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat Madura (Sampang) dipaparkan secara singkat di bawah ini.
a) Hirarki Ketaatan dan Sistem Politik Sosial
Salah satu nilai yang dijunjung adalah “bupak, babuh, guru, ratoh” (ibu dan bapak, sesepuh guru [pemimpin agama] dan ratu [pemimpin formal]) misalnya, menunjukan sistem penghormatan dan penghargaan pada orang tua biologis, orang tua spiritual dan pemimpin formal. Ibu merupakan orang pertama yang harus dihormati dalam struktur masyarakat Madura. Hal ini juga seiring dengan ajaran keislaman, bahwa ibu punya derajat yang sangat tinggi. Bapak adalah sosok seorang pemimpin dalam keluarga inti dan keluarga besar dalam sebuah tatanan kekerabatan dalam tatanan tanian lanjang (sebuah tatanan kekerabatan masyarakat yang terkelompok dalam satu halaman besar).
Selanjutnya, babuh, adalah sesepuh atau orang yang dituakan (tokoh), mendapat posisi ketiga dalam hirarki masyarakat Madura.
Guru, dalam konteks masyarakat Madura adalah guru agama maupun guru sekolah umum. Dalam hal guru, pada masyarakat Madura lebih utama guru agama, yaitu kyai sebagai orang yang mengajarkan ilmu-ilmu agama untuk bekal hidup dunia dan akhirat.
Hirarki selanjutnya adalah ratoh, dalam konteks masyarakat adalah sosok yang memerintah atau bertanggungjawab akan peraturan dan pengaturan tatanan pemerintahan. Satuan terkecil dalam masyarakat adalah di tingkat desa adalah klebun atau kepala desa dan bupati di tingkat Kabupaten.
b) Etos Kerja Nelayan
Filosofi yang sangat kuat dalam kehidupan orang Madura adalah “Abantal ombak, asapoh angen, apajung iman” ( : berbantal ombak atau gelombang berselimut angin, berpayung iman) bagi masyarakat Madura terutama masyarakat pesisir adalah semangat dan etos kerja yang tinggi. Niai-nilai ini tetap didasari iman, sehingga semangat kerja yang tinggi dan menyatunya manusia dengan alam ini tetap didasari oleh keimanan yang kuat. Semangat kerja keras dan bersahabat dengan kerasnya alam ini menjadi poin potensi semangat kerja untuk mendukung tujuan pembangunan. Nilai ini menggambarkan bagaimana Islam masuk dan menyebar melalui daerah pesisir.
c) Prestise dan Eksistensi Diri
”Atembhang pote mata ango’an pote tolang” (dari pada putih mata lebih baik putih tulang), artinya “dari pada malu lebih baik mati”. Makna ungkapan ini adalah tentang nilai dan prinsip harga diri orang Madura yang sangat kuat, terutama dalam membela kerabat dan hak milik, hal ini pula yang membuahkan semangat “tegas, lugas, apa adanya dan ksatria” menjadi implikasi nilai ini. Potensi ini bisa digunakan dalam mendukung pembangunan, misalnya untuk tetap tegas, lugas dan ditambah kemampuan SDM yang sudah mumpuni.
d) Semangat Kedisiplinan dan Ke-kosistenan dalam Etika Sosial
Nilai dan prinsip “Ngeco’ Tengka Lanjang Tobat” (kesalahan dalam sebuah tindakan yang menyangkut etika sosial, maka tindak penyelesaiannya sangat rumit). Bagi orang Sampang, etika sosial atau tata prilaku (kesopanan) sangat diutamakan, sehingga harus menggunakan etika tersebut. Adat kesopanan dan tatacara berprilaku dalam masyarakat sangat tinggi nilainya. Melalui nilai ini, setiap tindakan masyarakat diawasi, karena setiap kesalahan akan berdampak buruk yang panjang bagi keberadaan orang Sampang.
3. Kelembagaan Sosial
Terdapat kelembagaan sosial yang menjadi muara setiap tindakan masyarakat Sampang dalam bermasyarakat yang dapat menjadi wadah dalam pembangunan jangka menengah ke depan.
a) Remoh
Remoh adalah tradisi lama yang masih dipraktikkan oleh orang Sampang, yakni mekanisme meminta bantuan kepada warga lainnya dalam bentuk tanggap-seni-pertunjukan, sebagai proses kepedulian terhadap kelompok masyarakatnya di bidang ekonomi. Warga lain akan memberikan sumbangan uang bagi salah satu warga yang mengadakan untuk diberikan kepada tuan rumah, nantinya mereka yang mengundang juga harus membalas jika diundang balik.
Hasil remoh --kalau dulu-- untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi, sekarang sering digunakan untuk menebus orang yang dipenjara karena carok, hal ini dilakukan karena carok bagi orang Madura bukan tindakan kriminal belaka tetapi juga ada nilai martabat dan prestise orang Madura.
Dalam remoh ini sering diikuti oleh kesenian tradisional seperti kijungan (nyanyian oleh sinden).
b) Kelompok Bajing dan Blater
Bajing atau Bajingan adalah sebuah nama yang disematkan pada orang Madura yang memiliki kekuatan fisik dan mempunyai keberanian untuk melakukan hal-hal yang membahayakan nyawa.
Blater, ia adalah Bajing yang memiliki karakter konsistensi dalam ucapan dan tindakan. Blater ini pada masyarakat Sampang sangat kuat dan biasanya ikut menentukan keputusan-keputusan politik pada level apapun di Madura.
c) Klebun (Kepala Desa)
Klebun (kepala desa) adalah institusi kekuasaan paling dekat dengan masyarakat desa, sehingga kekuasaan ini sangat menentukan pembangunan desa di Madura. Di Sampang kekuasaan klebun sangat kuat, hal ini sering membuat rumah klebun menjadi balai desa. Dengan alasan pelayanan 24 jam, sehingga warga dapat datang kapanpun untuk mendapat penyelesaian permasalahan.
d) Tos-otos
Tos-atos adalah sebuah tradisi kerjasama bergiliran untuk menggarap lahan pertanian. Bagi masyarakat Sampang, tos-otos merupakan bentuk solidaritas petani untuk mengurangi beban kerja untuk menggarap lahan pertanian, sehingga dapat menghemat biaya untuk ongkos pekerja. Tos-otos dapat memperkuat hubungan kemasyarakatan dan kesamaan, kesetaraan kebutuhan, sehingga kecemburuan sosial dapat dihindari dengan kebersamaan ini.
e) Ajaghan
Tradisi ini dilakukan pada masyarakat Sampang untuk bergotong royong dalam mengerjakan rumah, terkadang untuk tujuan lainnya. Aktivitas ini dilakukan dengan sukarela sehingga menjadi kebutuhan masyarakat sendiri dari sektor pemukiman. Dalam bergotong royong mereka melakukan secara sukarela, terutama jika yang dikerjakan model rumah sederhana ala Madura.
f) Racok Bumi (Sedekah Bumi)
Ritual sedekah bumi ini sebagai bentuk syukur atas keberhasilan dalam panen padi bagi masyarakat petani. Sedekah bumi biasanya dilakukan oleh sekelompok masyarakat terbatas pada kelompok masyarakat di tingkat kerabat tanean lanjang (lingkungan pemukiman).
Dalam perayaannya terdapat sajian makanan, yakni nasi dengan dua macam beras (beras merah dan beras putih) dengan masakan lauk dari hewan ternak sendiri (ayam, itik dll). Dalam prosesnya mereka mengucapakan doa-doa dengan harapan hasil panennya terus bertambah. Tradisi ini masih banyak dikerjakan oleh masyarakat Sampang terutama daereah-daerah pertanian yang subur.
g) Mamacah
Mamacah adalah sebuah tradisi lisan orang Madura yang berisi tentang petuah-petuah dan sejarah keislaman, tetapi dibaca dengan bahasa kuno dengan tulisan pego.
Mamacah ini memiliki fungsi pendidikan bagi masyarakat Sampang. Dalam kenyataan, mamacah ini sekarang tidak memiliki kelompok sebagai payung secara khusus, dan minat masyarakat mulai bergeser.

h) Nilai tradisi “Arabet Pekarangan”
Nilai ini dimiliki oleh masyarakat untuk bisa memanfaatkan dengan baik lahan tidur yang ditumbuhi dengan tumbuhan secara alami. Meski pada kenyataannya masyarakat (dalam merawat itu) masih sebatas membersihkan dan melihara, belum menanami dengan penuh kesadaran. Akan tetapi nilai ini bisa digunakan sebagai bentuk penyadaran dan kepedulian terhadap lingkungan. Setidaknya untuk menggeser paradigma bahwa alam ini diciptakan untuk dimanfaatkan saja, contoh eksploitasi batu-batu bukit, pasir laut dll.
i) Paguyuban Sapi Sono dan Kerapan Sapi
Salah satu identitas budaya orang Madura adalah tradisi Kerapan Sapi dan Sapi Sono’. Meski pada perkembangannya tradisi ini semakin berkurang peminatnya, paguyuban tradisi Sapi tetap ada, sebagai bentuk jaringan antar kabupaten di Madura.
Karena citra yang kurang bagus dan besarnya biaya dalam tradisi Kerapan Sapi, maka banyak orang memilih sapi menjadi pertunjukan Sapi Sono’. Dalam pertunjukkan sapi sono lebih mengandalkan kecantikan sapi dan bagaimana sapi untuk bisa mengikuti irama dari musik yang ada.
Paguyuban ini semakin banyak, meski biasanya mereka tetap orang-orang yang masih mencintai Kerapan Sapi. Sapi Sono’ juga diikuti oleh pertunjukan lain, seperti musik saonen dan tayob. Hal ini kurang bisa diterima oleh masyarakat Sampang, meski tetap ada.
j) Rokat Tasek (Petik Laut)
Rokat Tasek adalah sebuah ritual atau bentuk syukur oleh nelayan atas diberikannya rizqi dari Allah. Bagi masyarakat nelayan, rokat tasek ini dilaksanakan untuk mendapat berkah agar hasil tangkapan mereka semakin banyak dan terus mengalir, maka hampir setiap tahun diadakan.
Prosesi Rokat Tasek saat ini mulai bergeser karena kuatnya pengaruh Islam dalam masyarakat. Bila pada mulanya terdapat prosesi larung atau korban kepala sapi atau makanan ke laut, kini digantikan dengan pengajian dan selamat di balai desa. Dalam acara rokat ini hampir seluruh nelayan ikut dalam prosesi selamatan di balai desa. Dengan dipimpin seorang tokoh agama dan dikuti oleh masyarakat yang ada.